Pietisme

oleh: Toni dan Mimi

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah Pietisme muncul dan menjadi populer di kalangan gereja-gereja Lutheran. Kata Pietisme sebenarnya kata ejekan terhadap kelompok-kelompok orang yang hidup saleh (Collegia Pietatis). Karena penilaian pada waktu itu kesalehan mereka terlalu berlebihan dan dituduh oleh farisi dan masyarakat. Tetapi lama kelamaan konotasi negative dari kata itu mulai hilang, bahkan pietisme lalu menjadi tanda pengenal atau nama aliran itu.

Sejak tahun 1669, kelompok ini untuk pertama kali didirikan oleh Spener, dalam rangka memeberi arti dan memamfaatkan kehidupan orangorang Kristen. Spener mengatakan “daripada dalam seminggu anggota jemaat hanya menghabiskan waktu mereka untuk hal yang merugikan seperti mabukmabukan, maka lebih baik mereka memamfaatkan waktu untuk hal yang membangun.” Kegiatan Collegia Pietatis kemudian berkembang mereka tidak hanya berdiskusi tentang kesalehan, namun diikuti petunjuk-petunjuk praktis. Untuk itulah Spener menulis karyanya yang terkenal Pia Desideria, yang memberi dasar bagi semua kegiatan-kegiatan praktis itu. Dapat disimpulkan kelompok-kelompok saleh atau Collegia Pietatis adalah perwujudan usaha untuk memprbaiki keadaan masyarakat Gereja.[1]

Fenomena Pietisme cukup majemuk dan kompleks. Pietisme berkesinambungan didalam dan diluar Gereja-Gereja baik di Eropa maupun dibagian lain dunia ini, walaupun Pietisme sebenarnya merupakan suatu gerekan penyegaran Rohani didalam Gereja-Gereja Lutheran.2

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pietisme

Istilah pietisme berasal dari bahasa latin yaitu, ‘Pius’ yang berarti ‘Saleh’. Kata benda latin ‘pietas, pietastis’ berarti kesalehan (pietas, godliness, devotion), namun juga kasih yang dalam dan setia. Selain itu ‘pietas’ dapat berarti juga kebenaran, kelemah lembutan, dan belas kasihan. Jadi baru diperhatikan bahwa iatilah ‘pietas’ tidak mempunyai arti sempit yang sering dikaitkan dengan kata kesalehan.

Istilah pietisme itu muncul pada akhir abad XVII dan merupakan nama julukan dengan tujuan untuk menyindir dan menghindar. Namun kaum pietis mengubah penggunaan nama itu dan mengartikan istilah orang pietis seorang yang takut akan Tuhan dan mencintai Firman-Nya.

 

B. Ciri-ciri Umum Pietisme

1.      Natura Pietisme

a.       Sifat dasar manusia dapat menjadi sumber kehidupan Kristen yang baik. Pietisme sangat menekankan manusia baru atau regenerasi baru (lahir baru).

b.      Aliran ini menolak sikap yang setengah-setengah dari dari hubungan dengan Tuhan. itulah sebabnya mereka menghendaki perubahan yang total dari yang lama menuju yang baru.

2.      Collegia Pietatis

Collegia Pietatis adalah sebuah persekutuan yang menjalankan kesalehan atau sebuah persekutuan saleh. Pietisme berpendapat bahwa hakekat kekristenan dapat ditemukan dalam hubungan pribadi dengan Allah.

3.      Praktis Pietatis

Orang-orang Pietatis berpendapat bahwa Teologi tidak sematamata menyangkut tuntutan ajaran tentang Allah, tetapi menekankan tentang hal-hal yang praktis dalam kehidupan sehari-hari. Praktis Pietatis dapat diwujudkan dalam kehidupan secara pribadi, tetapi perlu juga diwujudkan dalam masyarakat. Menurut Francke, tingkah laku manusia ditentukan oleh kesadaran bahwa Allah itu Mahahadir.

4.      Reformation Pietatis

Reformasi yang dibuat sebanarnya belum selesai dan perlu reformasi kedua yaitu pembaharuan kehidupan. Pia Desideria yang ditulis oleh Spener menjadi semacam kerangka yang harus diikuti dalam reformatio Pietatis.

C. Aliran Pietisme

1.      Pietisme Halle

Pietisme Halle adalah Pietisme yang berkembang di Halle dan gagasan Spener lah yang berkembang disana. Kesederhanaan Pia Desideria menyebabkan karya itu disenangi pada waktu itu. Pia desideria terbagi atas 3 kelompok penting:

a.       Bagian pertama menyangkut kondisi di dalam gereja

b.      Bagian kedua melukiskan tentang harapan perbaikan gereja

c.       Bagian ketiga usul-usul pembaharuan yang di ajukan oleh Spener.

2.      Pietisme Herrnhut

Tokoh yang peling terkenal pada Pietisme ini ialah: Nikolas Ludwig Von Zinzendorf (1700-1760). Pietisme Herrnhut mula-mula terbentuk oleh Zinzendorf karena ia merasa sangat bertanggung jawab terhadap orang-orang Kristen Moravian, yang terpaksa melarikan diri. Zinzendorf tidak setuju dengan ortodoksi dan pencerahan yang selalu menekankan akal, itulah sebabnya ia menekankan perasaan. Zinzendorf juga tidak setuju dengan usaha-usaha untuk mengerti Allah atau menerobos kebenaran Allah melalui akal. Hal itu adalah tidak mungkin karena Allah tidak dapat di terobos oleh Filsafat manusia. Ia tidak menekankan apa yang harus dibuat dan tidak boleh dibuat karena inti keselamatan itu bukan seperangkat peratura, tetapi sukacita, hubungan pribadi dengan Kristus. Ketika sudah memiliki hubungan pribadi dengan Kristus maka dengan sendirinya peka terhadap situasi kehidupan dan mengandalkan Tuhan dalam mengambil keputusan.

3.      Pietisme Wurttemberg

 Johann Andreas Hochstetter, adalah tokoh yang memberikan inspirasi munculnya Pietisme Wurttemberg, yaitu semacam aliran yang merupakan kombinasi antara Pietisme dan Ortodoksi. Pietisme Wurttemberg sangat mementingkan hidup baru, tetapi tidak membuat semacam jalan khusus kearah hidup baru itu.

4.      Pietisme Radikal

Unsur-unsur Mistik (pengalaman) umumnya lebih dominan di aliran ini. Bahkan tokoh-tokoh didalamnya pun seperti Gottfried Arnold dan Gerhard Tersteegen sangat dipengaruhi dengan Teologi mistik.

5.      Neo Pietisme

Aliran ini melawan otonomi manusia dan menekankan wibawa Alkitab sebagai otoritas final buat iman dan kehidupan menusia. Melawan Teologi Kristen yang menekankan prinsip akal tetapi menekankan penyataan Alkitab tentang aktifitas Allah yang menyelamatkan.

D. Aliran atau Pandangan yang mempengaruhi Pietisme

1.      Mistik

Pengalaman batin ditekankan. Gereja sebagai lembaga dan ordoordo yang sangat penting pada abad pertengahan tidak lagi menjadi utama tetapi justru penekanan bergeser kearah individu. Unsur mistik yang sangat mempengaruhi Pietisme adalah pengalaman dengan Allah. Antara Pietisme dan mistik terdapat perbedaan prinsip yaitu walaupun keduanya sama-sama menekankan hubungan dengan Allah, namun mistik berusaha untuk mencapai kesatuan dengan Allah. Dalam Pietisme terdapat batas antara Allah dan manusia, tetapi pada mistik sudah tidak ada batas antara Allah dan manusia.

 

2.      Puritan

Puritan berasal dari kata Pure yang berarti murni. Orang Puritan juga menekankan peranan Alkitab yaitu menjadi dasar utama. Orang Puritan percaya bahwa pelaksanaan hukum-hukum Tuhan adalah usaha untuk menyakinkan diri sendiri, bahwa Allah benar-benar telah memilih mereka. Pemilihan itu terbukti dari perbuatan baik orang saleh itu.

3.      Reformasi

Pietisme sendiri tidak bisa diceraikan dari Reformasi. Karena banyak nilai-nilai reformasi yang ditekankan oleh Pietisme, seperti ajaran Lutheran (pembenaran oleh iman).

4.      pencerahan pencerahan adalah satu aliran yang menolak keyakinan atau kepercayaan yang diajarkan oleh instansi lain diluar manusia. Misalnya Akitab, Gereja, adat istiadat dll. Pengaruh pencerahan terhadap pietisme adalah individualism dalam Pietisme. Pencerahan menekankan bagaimana seseorang bisa menghayati imannya sendiri, dan melepaskan diri dari Alkitab, gereja, tradisi, sedangkan Pietisme menekankan pertobatan pribadi.[2]

 

E. Hubungan Pietisme dengan Teologi Martin Luther

 

Muncul dan berkembangnya Pietisme perlu dimengerti pula dari segi konteks sejarah dan kaitannya dengan gereja-gereja protestan terutama di dalam Gereja Lutheran di Jerman. Hal ini diakui oleh para penentang Pietisme maupun oleh para pendukung Pietisme. Para penentang berkesimpulan bahwa Pietisme meninggalkan teologi Martin serta mengalihkan penekanan teologisnya, sedangkan para pendukung berkesimpulan bahwa Pietisme kembali kepada teologi Martin dan bahwa Pietisme merupakan kesinambungan sejati dari reformasi dan teologi Martin Luther. Perbedaan pendapat ini tidak begitu mengherankan mengigat bahwa kesimpulan masingmasing tergantung kepada keyakinan pribadi dan dalam hal ini tentunya ada perbedaan dan kesinambungan.

Pertobatan dan kelahiran baru adalah karya pemberian Allah sematamata. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara teologi Martin dan Pietisme. Garis besar teologi Luther dan Spener sama, namun penekanan-penekanan teologis mereka berbeda sesuai dengan usaha dan kebutuhan kontekstualisasi pada zaman masing-masing. Luther mengkonsentrasikan diri dalam konteks perjuangannya melawan teologi gereja katolik Roma pada pokok pembenaran oleh iman. Pietisme lebih melihat permasalahan gereja tradisional dimana banyak orang menjadi anggota gereja melalui baptisan anak. [3]

 

 

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Istilah pietisme berasal dari bahasa latin yaitu, ‘Pius’ yang berarti ‘Saleh’. Kata benda latin ‘pietas, pietastis’ berarti kesalehan (pietas, godliness, devotion), namun juga kasih yang dalam dan setia. Istilah pietisme itu muncul pada akhir abad XVII dan merupakan nama julukan dengan tujuan untuk menyindir dan menghindar.

Adapun ciri-ciri umum Pietisme, Natura Pietisme, Collegia Pietatis, Praktis Pietatis, dan Reformation Pietatis.

Pietisme juga ada beberapa aliran yaitu Pietisme Halle, Pietisme Wurttemberg, Pietisme Radikal dan Neo Pietisme.

Muncul dan berkembangnya Pietisme perlu dimengerti pula dari segi konteks sejarah dan kaitannya dengan gereja-gereja protestan terutama di dalam Gereja Lutheran di jerman. Hal ini diakui oleh para penentang Pietisme maupun oleh para pendukung Pietisme.

Fenomena Pietisme cukup majemuk dan kompleks. Pietisme berkesinambungan didalam dan diluar Gereja-Gereja baik di Eropa maupun dibagian lain dunia ini, walaupun Pietisme sebenarnya merupakan suatu gerekan penyegaran Rohani didalam Gereja-Gereja Lutheran.

Luther mengkonsentrasikan diri dalam konteks perjuangannya melawan teologi gereja katolik Roma pada pokok pembenaran oleh iman. Pietisme lebih melihat permasalahan gereja tradisional dimana banyak orang menjadi anggota gereja melalui baptisan anak.



[1] Pdt. Leonard Hale, M.Th, Jujur terhadap pietisme, Jakarta: Gunung mulia, 1994, hlm 4-6. 

2 Dr. Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja jilid IV, Jawa timur 2010, hlm 25.

[2] Pdt. Leonard Hale, M.Th, Jujur terhadap pietisme, Jakarta: Gunung mulia, 1994, hlm 13-60.

[3] Dr. Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja jilid IV, Jawa timur 2010, hlm 32-35