Oleh.  Demetrius, Samuel, Yulius

Sejarah Suku Dayak Kanayatn

Suku Dayak Kanayatn merupakan satu dari 405 subsuku Dayak yang tersebar di seluruh Pulau Kalimantan. Suku Dayak meliputi beberapa subsuku diantaranya, Dayak Ahe, Banyadu, Bakati, Balangin yang tersebar di beberapa kabupaten di antaranya Pontianak (sekarang kabupaten Mempawah), Bengkayang, Landak dan Sambas. Dalam hal kebudayaan, Suku Dayak Kanayatn tidak jauh berbeda dengan suku-suku dayak lainnya percaya kepada kekuatan supranatural (aninisme dan dinanisme), hidup sebagai suku yang sangat menghargai serta menjunjung tinggi nilai adat dan budaya yang dipegang oleh kelompok masyarakat.
Hal yang membedakan budaya Dayak Kanayatn dengan Dayak yang lain adalah tradisi Naik Dango. Naik Dango adalah tradisi untuk menghormati atau mengucap syukur kepada Tuhan alam semesta yang dikenal dengan sebutan Jubata yang sudah memberkati setiap jerih payah dalam pertanian. (terutama padi). Penghargaan dan penghormatan itu diwujudkan dalam sebuah tradisi pesta panen padi yang diselenggarakan serentak di wilayah-wilayah yang berbeda.
    Awalnya tradisi Naik Dango biasanya dilaksanakan pada 27 April- 31 Mei (sesuai kesepakatan musyawarah daerah) dari masing-masing rumah warga yang ingin mengucap syukur sekaligus memohon berkat kepada Jubata untuk tahun berikutnya. Pesta ini dengan mengundang tetua adat untuk berdoa dan siapa saja yang mau datang ke rumah mereka untuk menikmati hidangan bersama.




Sistem Keyakinan dalam Suku Dayak Kanayatn

Orang Dayak Kanayatn menyakini bahwa seluruh elemen dalam kehidupan telah di atur oleh Jubata (dalam doa orang Dayak Kanayatn di kenal dengan nama Nek Sapati), termasuk hukum adat, tradisi dan budaya. Semua hukum itu telah di wahyukan kepada generasi terdahulu dan di turunkan kepada generasi berikutnya melalui tradisi lisan. Secara khusus hukum dijalankan secara terorganisir oleh stuktural ketua adat yang telah terpilih berdasarkan kekuatan, kecerdikan, wibawa yang mereka miliki di wilayah-wilayah yang mereka pimpin.

 Secara operasional akan sangat luas sekali untuk membahas sistem hukum Dayak Kanayatn. Tetapi dalam pemahaman yang sedikit sempit hukum adat yang berfungsi untuk menata atau mengatur sikap etis setiap warga desa atau daerah serta menjadi media untuk menengahi konflik internal atau konflik eksternal yang berkaitan dengan warga kampung yang berkaitan.

    Selain mengatur sikap etis terhadap sesama masyarakat, hukum dan tradisi juga mengatur sikap etis hubungan antara manusia dengan alam agar tetap terjaga kelestariannya mengungat bahwa masyarakat Dayak Kanayatn adalah masyarakat yang agraris; juga mengatur sikap etis antara manusia dengan alam supranatural dengan maksud menjaga penghormatan pada Jubata dan arwah nenek moyangnya.

    Karena hal itulah Nek Sapati selalu mendapat tempat untuk dimintai restu, berkat, pengampunan, petunjuk dalam setiap ungkapan doa (tetua adat) Suku Dayak Kanayatn karena ia memegang kedudukan tertinggi sekaligus yang menurunkan hukum adat untuk dihidupi oleh manusia. Tanpa restu dari Nek Sapati semua kebijakan dan keputusan yang diambil dikhawatirkan akan membawa petaka yang berakibat fatal terhadap masyarakat suku Dayak Kanayatn. Selain mengatur sikap menghilangkan nyawa sesama manusia tanpa belas kasihan. Menyadari hal tersebut, dewan-dewan adat bermufakat untuk memohon ampun sekaligus meminta Jubata untuk menguasai tanah ai’karamat (tanah air dan keramat) melalui tradisi naik dango. Sesuai kesepakatan, acara Naik dango di lakukan secara terorganisir dan komunal di tempat-tempat yang di anggap memakan korban paling banyak dengan fokus tujuan memohon ampun dan memohon berkat (1985-1991).

     Memasuki tahun 1992 tradisi ini tidak lagi di lakukukan di tempat yang paling banyak membunuh orang China, tetapi dikecamatan yang memiliki rumah adat dan dianggap mampu menyelenggarakan tradisi ini. Sekarang ini tradisi ini tidak hanya di maknai sebagai ungkapan permohonan dan ucapan syukur, tetapi juga mengandung nilai persahabatan dan kekeluargaan (karna di lakukan secara bersama-sama dalam jumlah kelompok yang besar), baik itu sesama suku Dayak maupun etnis lain yang juga hadir untuk memeriahkan acara Naik Dango sebagai wujud kasih dan perdamaian sesama manusia.
     Karena hal itulah Nek Sapati selalu mendapat tempat untuk  dimintai restu, berkat,pengampunan,petunjuk dalam setiap ungkapan doa (ketua adat) suku Dayak Kanayatn karena Ia memegang kedudukan tertinggi sekaligus yang menurunkan  hukum adat untuk di hidupi oleh manusia. Tanpa restu dari Nek Sapati, semua kebijakan dan keputusan yang  diambil  dikhawatirkan akan membawa petaka yang berakibat fatal terhadap kehidupan masyarakat suku Dayak Kanayatn.


Pengertian Jubata dalam Suku Bahasa Dayak Kanaytn

    Dayak Kanayatn menyebut Tuhan dengan istilah Jubata. Juba,a  ini yang di percayai menurunkan adat kepada nenek moyang Dayak Kanayatn yang berlokasi di Bukit Bawakng (sekarang masuk wilayah Kabupaten Bengkayang). Tidak ada penjelasan secara ilmiah maupun yang pasti atau siapa Jubata itu sendiri. Tetapi yang jelas Jubata tidak atau bukan berbentuk material maupun fisik. Jubata dalam pemikiran masyarakat Dayak Kanayatn bersifat transendental atau tidak dapat di jangkau. Namun Jubata itu sendiri dapat di rasakan kehadirannya dalam kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn dalam kebaikan, keindahan dan kesatuan Jubata itu sendiri dengan hidup masyarakat Dayak Kanayatn.
    Konsep tentang Jubata sendiri mulanya tidak murujuk pada Tuhan, melainkan lebih kepada roh (Tuhan) baik yang memelihara hidup masyarakat Dayak Kanayatn.    
Sebagian besar masyarakat Dayak Kanayatn yang hidup di Kalimantan menganggap Jubata adalah Tuhan yang esa, mahabaik , dan mahakuasa. Tidak sedikit juga yang berasumsi bahwa Jubata merupakan wujud dari roh tertinggi alam semesta yang ada di bumi maupun di langit. Bahkan dalam ritual adat yang sering di lakukan dalam setiap acara budaya di katakana bahwa Jubata sama dengan Tuhan. Dengan kata lain Jubata adalah Tuhan bagi masyarakat Dayak Kanayatn, sebelum masyarakat Dayak Kanayatn mengenal agama yang mereka percayai. Kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn terhadap Jubata sangat besar   sehingga Jubata dipandang diatas dari segalanya. Hal ini tampak pada ritual penyembuhan penyakit baik manusia, hewan, tumbuhan dan menolak penyakit kampong.

    Ritual muang penyakit padi (ritual membuang penyakit pada hama padi) merupakan budaya tahunan yang masih dilakukan masyarakat suku Dayak Kanayatn. Ritual yang dilakukan bertujuan untuk memohon pertolongan kepada Tuhan (Jubata) agar diberi kesehatan. Dayak Kanayatn mempercayai Jubata sebagai (Tuhan). Hal ini bisa terjadi karena masyarakat Dayak menyebut Jubata sebelum ada sebutan Tuhan. Jubata biasanya disebut sebagai Roh tertinggi leluhur yang menjadi penjaga masing-masing di beberapa tempat tertentu. Misalkan Jubata Mototn (ladang) merupakan roh yang menjaga lading. Jubata Karamigi (rumah) merupakan roh penjaga rumah. Bahkan setiap bukit atau tempat-tempat yang dianggap sakral yang ada disekitar hutan adat setempat, dipercayai oleh masyarakat Dayak Kanayatn mempunyai Jubatanya tersendiri.
    Dalam perkembangannya, secara terminologi masyarakat Dayak Kanayatn menyebut Tuhan dengan sebutan Jubata, sebutan ini terjadi sebelum masyarakat Dayak mengenal Agama. Hal ini dipengaruhi oleh agama yang masuk dalam kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn, maka dari itu konsep tentang Jubata sendiri dapat dimaknai oleh agama sebagai Tuhan. Di sisi lain hukum adat sangat dipengaruhi oleh Jubata itu sendiri, karena masyarakat Dayak ketika mengadili orang yang bersalah pasti melibatkan agama. Pelanggaran adat merupakan pelanggaran yang mempengaruhi tatanan hidup masyarakat

Dayak Kanayatn baik itu secara sosial maupun spiritual. Pelanggaran terhadap adat dapat membawa bencana atau malapetaka dalam kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn. Maka penghormatan kepada adat istiadat merupakan penghormatan juga kepada Jubata.
Masyarakat Dayak Kanayatn memiliki Tuhan yang yang bernama Jubata. Nama ini merupakan suatu nama yang Tuhan dari masyarakat Dayak Kanayatn dan nama jubata di turunkan oleh nenek moyang mereka. Istilah Jubata bukanlah nama pribadi, tapi merupskan sebutan untuk untuk makhluk yang berbeda dari manusia, hewan, tumbuhan, roh dan hantu. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kalau jubata itu memiliki sifat-sifat dewa atau Tuhan, misalnya sebagai pencipta dan pengatur alam semesta.

    Selain percaya kepada Jubata sebagai penguasa tertinggi, masyarakat Dayak Kanayatn juga percaya dengan adanya roh-roh halus yang senantiasa berada disekeliling manusia. Roh itu ada yang baik dan ada yang jahat. Roh yang dianggap baik adalah roh nenek moyang yang semasa hidupnya menjadi penguasa, disegani masyarakat atau pahlawan bagi daerahnya. Sedangkan roh yang jahat adalah penjelmaan dari arwah nenek moyang yang semasa hidupnya memiliki tabiat jelek.
    Bentuk ketaatan masyarakat suku Dayak Kanayatn kepada Jubata adalah dengan melakukan penyembahan kepada Jubata tersebut dengan perantaraan panyangahatan sebagai pemimpin dalam ritual yang mereka lakukan.



Kesimpulan 

      Orang Dayak Kanayatn menyebut Tuhan dengan istilah Jubata. Jubata inilah yang dikatakan menurunkan adat kepada nenek moyang Dayak Kanayatn yang berlokasi di Bukit Bawakng (sekarang masuk wilayah kabupaten Bengkayang). Dalam mengungkapkan kepercayaan kepada Jubata, mereka memiliki tempat ibadah yang disebut panyugu atau padagi, selain itu diperlukan juga seorang imam panyangahatn yang menjadi seorang penghubung, antara manusia dengan Tuhan (Jubata).
    Gambaran umum tentang konsep Jubata ini meliputi dalam pemahaman masyarakat Dayak Kanayatn. Belum ada rumusan memadai akan Jubata yang dapat diterima oleh seluruh kalangan masyarakat adat Suku Dayak Kanayatn.
    Konsef tentang Jubata dalam suku Dayak Kanayatn menemukan pengejawantahannya lewat adat. Namun, adat ini dalam penghayatan sehari-hari ternyata bisa juga melenceng dari dasar ideologisnya, yakni keyakinan kepada Jubata ini.